16 February, 2015

Kalender 2015 Indonesia


Ini adalah kalender 2015 dengan hari-hari libur Indonesia.

14 February, 2015

Kompetensi Dasar Melakukan Percakapan Coaching


International Coach Federation (ICF) menetapkan 11 Kompetensi Dasar yang harus dimiliki dan dikuasai oleh seorang coach. 


Kompetensi Dasar
  1. Memenuhi Pedoman Etis dan Standar Profesional 
  2. Menetapkan Persetujuan Coaching 
  3. Membangun Kepercayaan dan Keakraban dengan Klien  
  4. Kehadiran Coach 
  5. Mendengarkan Aktif 
  6. Membuat Pertanyaan Dahsyat 
  7. Komunikasi Langsung 
  8. Membangkitkan Kesadaran 
  9. Mendesain Tindakan 
  10. Membuat Perencanaan dan  Penetapan Sasaran 
  11. Mengelola Kemajuan dan Pertanggungjawaban


Sebelas kompetensi ini diajarkan dalam program Certified Leadership Coach yang diselenggarakan oleh Cherish Indonesia.

20 January, 2015

Definisi Coaching

          Kata "Coaching", sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya di Sejarah dan Perkembangan Coaching, memberi penekanan pada suatu pergerakan. Diumpamakan seperti seorang pengemudi kendaraan A di kota B, yang membawa seorang penumpang C. A melayani C, yang meminta diantarkan ke kota tujuan D. B dan D merupakan 2 tempat yang berbeda dengan jarak tertentu. Untuk sampai ke kota D dibutuhkan tindakan (action), dan terjadi perubahan (change) tempat. Gambaran ini dapat dikaitkan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Jika A adalah seorang coach dan C adalah coachee, maka A menolong dengan cara-cara tertentu, supaya C sampai ke sasaran yang dia ingini. Dalam konteks ini, coaching adalah salah satu alat untuk menolong C.
          Ketika zaman terus berubah di dalam rentang sejarah, pengertian coaching juga secara dinamis berubah. Banyak definisi yang sudah coba ditulis dari berbagai literatur yang membahas tentang coaching, di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Coaching adalah sebuah sarana (means) untuk mencapai tujuan, membantu (help) orang-orang menjalankan kehidupan yang utuh dan memuaskan.
  • Coaching dipahami sebagai sebuah kendaraan yang penuh tenaga (powerful vehicle) untuk menaikkan kinerja, mencapai hasil-hasil (results) dan mengoptimalkan (optimize) efektivitas pribadi seseorang.
  • Coaching terfokus demi kemajuan akan penemuan (discovery).
  • Coaching didefinisikan sebagai kemitraan (partnership) dengan klien-klien, dalam sebuah proses pembangkitan pemikiran dan kreativitas berpikir, yang mengilhami untuk memaksimalkan (maximize) potensi pribadi dan profesionalisme mereka.
  • Coaching adalah upaya membantu (help) seseorang berubah sejalan dengan yang dia rindukan, menolong (help) dia berjalan ke arah yang diingininya … .
  • Coaching adalah percakapan (conversation) yang disengaja, secara berkesinambungan, untuk memberdayakan (empower) seseorang atau kelompok, supaya mereka sepenuhnya menjalankan panggilan Allah (God’s calling).
  • Coaching adalah proses mendampingi (coming alongside) seseorang atau tim untuk menolong mereka menemukan (discover) agenda Allah (God’s agenda) bagi kehidupan dan pelayanan mereka, lalu bekerjasama dengan Roh Kudus untuk melihat agenda itu menjadi kenyataan.

          Dari beberapa definisi coaching di atas, Dr. Paulus Kurnia membangun definisi coaching sebagai: “sebuah metode untuk membantu orang-orang, agar mereka bisa menolong diri mereka sendiri dalam menemukan agenda dan potensi pemberian Tuhan, lalu mewujud-nyatakannya – melalui pendampingan, pemberdayaan dan kemitraan yang berkesinambungan”. Definisi ini merupakan integrasi antara definisi coaching pada umumnya dengan nilai-nilai spiritualitas kekristenan. Definisi ini menekankan beberapa hal utama, antara lain:

Metodologi
          Coaching merupakan salah satu metode untuk membantu seseorang (untuk selanjutnya disebut sebagai coachee), bukan sebuah tujuan akhir. Metode lain yang pada umumnya bisa dipakai untuk membantu orang, misalnya: konseling, konsultansi, mentoring, mengajar, melakukan pengobatan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, dan sebagainya. Dalam hal ini, coaching berfungsi secara unik di tengah-tengah pelayanan kategori helping ministry.

Penemuan Diri
          Pertolongan yang diberikan kepada orang-orang lain dalam coaching tidak berupa wujud jadi (misalnya: barang tertentu, atau pertimbangan, atau nasihat verbal atau solusi, dan lain sebagainya) tetapi berupa sebuah fasilitas yang memungkinkan coachee dapat menemukan sendiri jalan keluar atas segala hal yang menjadi permasalahan atau isu mereka. Dalam hal ini, coach bertindak sebagai fasilitator bukan advisor, apalagi sang pemberi “ikan.” Sebagai fasilitator, coach berupaya membantu agar coachee dapat menolong dirinya sendiri (s/he helps her/himself).

Percakapan
          Alat komunikasi efektif yang dipakai untuk melakukan coaching di sini adalah bercakap-cakap (conversation). Seorang coach yang baik, terlatih untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan (bukan pernyataan-pernyataan) yang bagus dan menyentuh inti persoalan, sehingga dia dapat menolong coachee menemukan jawaban dari dan bagi dirinya sendiri, bukan jawaban dari coach. Dalam percakapan yang kaya akan tanya-jawab ini, seorang coach dapat menghindari diri dari ungkapan-ungkapan atau pernyataan-pernyataan yang bernuansa seperti: menghakimi (judging), menggurui (telling), memarahi (yelling), mengasumsi (assuming), memanipulasi pemikiran (manipulating), dan memberi nasihat (advising) atau solusi praktis. Keunikan percakapan coaching adalah ketika seorang coach dapat menolong coachee tiba pada penemuan yang tergali dari dirinya sendiri (self-discovery), misalnya tentang: apa sesungguhnya yang dia ingini, cita-citakan, kesadaran akan kelebihan dan kekurangan dirinya, kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan atau kesempatan-kesempatan. Dalam percakapan coaching yang utuh, beberapa aktivitas komunikasi yang biasa digunakan coach antara lain: mengajukan pertanyaan, mendengarkan, memberi semangat, mendorong, menarik kesimpulan, dan pada akhirnya menagih tindakan-tindakan nyata apa yang harus diambil dan dijalankan coachee.

Pendampingan
          Dalam proses coaching, seorang coach berada di samping (alongside) coachee yang sedang diberdayakan olehnya – melalui percakapan, diskusi, dan interaksi yang dinamis dan menyenangkan. Coaching sering digambarkan seperti seorang guru les yang memberikan pelajaran tambahan kepada murid lesnya. Biasanya si guru akan duduk di samping muridnya. Di dunia olahraga, sang coach mendampingi orang-orang yang dilatihnya dalam memberdayakan mereka. Demikianlah halnya secara umum, coaching melibatkan bukan cuma percakapan-percakapan, namun kehadiran seorang coach mendampingi coachee menjadi penting, agar layanan coaching mengenai sasaran. Namun tetap perlu diingat di sini bahwa peran si coach bukan sebagai pemberi nasihat dan solusi, tetapi sebagai pendukung (supporter), pemberi semangat (encourager), dan fasilitator yang memimpin coachee dari belakang (leading from behind, atau non-directive leadership).

Pemberdayaan
          Sekali lagi, di dalam coaching, seorang coach tidak memberi nasihat dan solusi kepada coachee, namun memberdayakan coachee agar dia lebih dimampukan untuk menggunakan rasio atau nalar dan pikiran untuk membuat sebuah refleksi (reflection), diajak berpikir secara utuh dari segala jurusan (3600) dalam melihat persoalan, mengalami kesadaran-kesadaran baru (new awareness) dan diajak untuk berpikir out of the box atau kreatif, untuk menemukan solusi-solusi dari dirinya sendiri (self discovery). Untuk memberdayakan coachee, coach menggunakan banyak pertanyaan dan peralatan (tools) yang berbobot, kreatif, dan menantang – bukan dalam bentuk nasihat-nasihat, pengajaran-pengajaran, dan solusi-solusi praktis.

Kemitraan
         Berbeda dengan mentoring, teaching, dan sebagian consulting, seorang coach tidak harus lebih senior, lebih pandai, lebih handal, lebih ahli, dan lebih berpengalaman dalam menolong coachee. Dalam coaching, seorang coach dan coacheenya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, berdampingan dan berhubungan seperti dua orang sahabat dekat: saling percaya, terbuka, jujur, apa adanya, tidak menghakimi, tidak menyalahkan, tidak menegur, tidak mengonfrontir, mau belajar, mau bertumbuh, dan mau mencapai sesuatu secara maksimal dan memuaskan, demi kemajuan dan perkembangan yang diidam-idamkan atau diharap-harapkan coachee. Dalam kemitraan ini, coach berada pada posisi sahabat bagi coachee, demikian pula sebaliknya.

Berkesinambungan
          Coaching, di sisi yang lain, merupakan sebuah relasi antara seorang coach dengan coachee-nya. Hal ini sejalan dengan bentuk bantuan yang diberikan secara konsisten kepada coachee: pendampingan, pemberdayaan, dan kemitraan. Relasi coach-coachee berlangsung dalam kurun waktu yang relatif panjang, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Misalnya: seorang coachee datang menemui seorang coach dengan persoalan sebagai berikut: “bagaimana agar saya bisa lebih pandai dalam berkomunikasi.” Begitu sasaran sudah ditetapkan dan kondisi permasalahan selesai dibingkai (di-frame), maka baik coach maupun coachee boleh mendiskusikan berapa lama atau berapa sesi percakapan coaching yang dibutuhkan: 3 sesi (dengan asumsi 60 menit dalam satu minggu per sesinya), atau 4, atau mungkin 8 sesi. Jika banyaknya sesi sudah ditetapkan, maka proses coaching baru dijalankan secara berkesinambungan. Kadang-kadang, relasi coach dan coachee bisa terus berkesinambungan tanpa batas waktu tertentu, namun bukan tanpa akhir.

Agenda Tuhan
          Agenda atau rencana atau panggilan Tuhan bagi seseorang, utamanya bisa digali dari pemahaman seseorang akan prinsip-prinsip Firman Allah atau Kitab Suci. Agenda ilahi itu meliputi segala hal yang berkenaan dengan aktivitas kehidupan, dengan segala permasalahannya dan tujuan hidup manusia. Agenda tersebut seringkali kurang dipahami, apalagi disadari oleh seorang Kristen. Dan agenda ilahi tersebut, seringkali sulit diterjemahkan ke hal-hal yang konkrit sehari-hari untuk diwujudnyatakan (put into action). Dalam hal inilah seorang coach dilatih untuk menolong coachee menemukan, menjalani, dan melakukan tindakan nyata agenda Tuhan di dalam kehidupannya sehari-hari.

Potensi Pemberian Tuhan
          Setiap orang sebagai ciptaan Tuhan dilahirkan ke dalam dunia ini lengkap dengan kemampuan-kemampuan uniknya, seperti: bakat atau talenta, keahlian-keahlian, dan potensi-potensi lainnya. Bagi orang Kristen, Alkitab menuliskan bahwa kepada setiap orang percaya diberikan karunia rohani. Semua bentuk potensi yang berasal dari Tuhan ini bukan tanpa tujuan. Dalam coaching, seorang coach akan menolong coachee agar dia memakai segenap potensinya untuk tujuan-tujuan yang Tuhan kehendaki di dalam hidupnya. Bagi John Whitmore, salah seorang penggagas dan coach terkemuka, coaching berguna agar “coachee boleh memaksimalkan pertumbuhan dirinya.”

Aksi
          Coaching sangat menekankan suatu tindakan atau action yang pada akhirnya perlu diambil oleh coachee. Coaching bukanlah coaching bila tidak diakhiri dengan tindakan. Dalam proses coaching, seorang coachee diminta untuk mengambil dan melakukan tindakan konkrit, untuk mewujud-nyatakan atau merealisasikan sasaran-sasaran atau keinginan-keinginannya, sebagaimana yang dia sudah nyatakan kepada coach di awal percakapan coaching. Aksi yang diambil dan dijalankan merupakan sebuah pertanggung-jawaban coachee atas sasaran-sasaran yang pernah dibuat sendiri. Coach tidak bertanggung-jawab atas aksi atau tindakan yang diambil dan dilakukan coachee.

          Untuk menyimpulkan arti dan proses coaching, saya mengutip O’Connor dan Lages yang menyuguhkan secara sederhana namun mantap tentang pola coaching. Mereka menemukan 4 kata kunci yang biasanya membentuk pemikiran dan definisi coaching pada umumnya, antara lain:

  1. Perubahan (change). Dalam semua percakapan coaching, coaching harus sampai kepada sebuah tindakan (action) yang sanggup mengubah kondisi mula-mula ke kondisi yang lebih baik, sesuai dengan sasaran yang diinginkan coachee. Biasanya ukuran keberhasilan sebuah percakapan coaching adalah pada dampak (impact) yang dihasilkan setelah coachee melakukan tindakan nyata, untuk memecahkan persoalan yang dia bawa kepada coach.
  2. Kepedulian (concern). Seorang coach yang terlatih akan menanyakan apa yang menjadi kepedulian coachee. Kepedulian coachee biasanya menyangkut isu-isu yang mau dibicarakan, harapan atau sasaran apa yang mau dicapai. Coach terlebih dahulu harus yakin bahwa coachee mendatanginya karena ada persoalan. Coachee adalah orang yang membutuhkan coach, bukan coach membutuhkan coachee, walaupun dalam proses coaching kedua-duanya harus saling berinteraksi.
  3. Pembelajaran (learning). Proses ini yang paling penting dalam sebuah percakapan coaching. Selain tujuan akhir tercapai, coachee perlu memiliki pengalaman belajar ketika dia sedang menghadapi persoalan. Pengalaman belajar yang paling penting di antaranya ialah: belajar merefleksikan pemikiran-pemikiran dia sendiri, belajar menemukan sendiri jawaban-jawaban yang muncul dari hasil analisa dan refleksi pribadinya, dan belajar merayakan penemuan-penemuan kecil yang dia hasilkan untuk pengembangan diri di masa yang akan datang.
  4. Hubungan (relationship). Dalam coaching, selalu melibatkan dua orang yakni coach dan coachee. Coaching tidak akan pernah terjadi bila salah satu dari dua orang ini tidak hadir. Oleh sebab itu, kedua orang ini harus menjalin sebuah hubungan yang baik, menyenangkan, saling mempercayai, saling menjaga rahasia percakapan, dan tetap saling menghormati. Semakin baik relasi kedua orang ini, semakin baik pula suasana dan hasil sebuah percakapan coaching.

          Menyermati dinamika coaching sebagaimana yang diuraikan di atas, maka beberapa hal yang penting untuk diperhatikan, antara lain:
Coaching bisa merupakan alat atau kepanjangan tangan dari gerakan potensi manusia (human potential movement). Gerakan ini menekankan keyakinan pada kesanggupan dan potensi manusia yang dapat dikembangkan dan dimaksimalkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Namun perlu diwaspadai manakala seorang coach berasumsi bahwa seorang manusia memiliki kesanggupan untuk menemukan dan mengembangkan sesuatu dari dirinya sendiri seolah-olah manusia tidak memerlukan kuasa dan kesanggupan lain di luar dirinya (misalnya Tuhan, Roh Kudus) yang justru jauh lebih hebat dan jauh lebih dapat diandalkan guna pemecahan persoalan-persoalan (problem solving). Lebih bersandar pada kekuatan manusia daripada kekuatan Tuhan condong bersifat humanistik.
Coaching akan efektif bila dipakai untuk orang-orang yang berada pada satu titik di mana mereka sudah cukup dewasa untuk berpikir dan berefleksi, ingin bertumbuh, ingin berjalan maju ke depan dan tidak ingin menengok lagi ke belakang, ingin memaksimalkan potensi pemberian Tuhan di dalam dirinya bagi kepentingan orang lain. Perlu batasan (boundary) yang jelas agar coaching bisa mencapai efektivitas yang maksimal.

Joseph O’Connor dan Andrea Lages menulis:
          “Coaching secara normal tidak digunakan bagi anak-anak kecil… . Coaching beranggapan bahwa klien seharusnya sudah dapat merefleksikan pemikiran mereka sendiri dan sudah bisa menjalankan tanggung-jawab sosialnya. Anak-anak kecil belum dapat melakukan hal ini karena mereka belum sepenuhnya berkembang secara kognitif. Coaching juga tidak cocok untuk klien yang menderita masalah mental dan fisik. Klien perlu berfungsi dalam hidupnya, bisa bekerja (mencari nafkah) sebelum mereka berkonsultasi dengan seorang coach… . Seorang coach semestinya tidak pernah menangani klien-klien yang tengah mengalami masalah emosi dan psikologis. Orang-orang ini membutuhkan seorang terapis, bukan seorang coach.”

          Orang-orang yang membutuhkan coaching hendaknya tidak mencari seorang konselor, karena konseling lebih berorientasi ke masa lalu, pengalaman traumatis, gangguan emosi para klien. Mereka lebih membutuhkan penyembuhan atau pemulihan bagi jiwa mereka. Gary R. Collins mengategorikan coaching ke dalam psikologi positif (positive psycohology), bukan healing psychology. Seorang coach tidak mesti terlatih untuk menangani urusan-urusan kejiwaan seseorang. Seorang coach bukan seorang ahli di dalam bidang tertentu (termasuk bidang psikologi dan konseling). Dia terlatih untuk menjadi seorang fasilitator bagi para kliennya, sehingga mereka dibantu untuk menemukan (discover) ide-ide dan jawaban-jawaban yang keluar dari dirinya sendiri, bukan dari coach. Keith Webb mengingatkan:
“Pandangan-pandangan (insights), ide-ide, strategi-strategi, dan butir-butir tindakan yang dibangkitkan sendiri oleh klien adalah yang paling relevan dan berguna bagi klien yang segera merasa bahwa itu semua adalah miliknya sendiri.”

11 January, 2015

Sejarah dan Perkembangan Coaching

          Ide dan praktik atau keterampilan coaching sebenarnya sudah muncul sejak lahirnya sejarah manusia. Sebagai contoh: seorang ibu yang mengajari anaknya menggunakan sendok dan garpu saat makan; seorang ayah yang pekerjaan sehari-harinya tukang kayu mengajari anak lelakinya memotong kayu dan menggergajinya; seorang guru yang mengajarkan matematika kepada para murid di sekolah; seorang guru les yang menolong seorang murid agar mendapatkan nilai yang bagus di sekolahnya, seorang guru olah-raga yang mengajarkan para muridnya renang, bermain tenis, bermain sepakbola; seorang pendeta yang memberi pelajaran katekisasi kepada calon baptis atau sidi, dan lain sebagainya. Tidak heran coaching bisa ditemukan di mana saja: di rumah, di sekolah, di gereja, di kantor, di pasar, di tempat pameran, di toko, di tempat-tempat lainnya. 
          Ide “coaching”, menurut peneliti Erik de Haan, berasal dari sebuah bentuk transpor berupa kendaraan kayu/besi yang ditarik oleh seekor kuda di abad ke-15 – yang dari situ diaplikasikan ke dunia pendidikan. Alat transpor itu adalah simbol yang dipakai untuk menjelaskan seorang coach yang membawa orang-orang ke “tempat” yang mereka inginkan. Tempat yang dimaksud bisa berarti berbagai hal, misalnya: sasaran, cita-cita, impian, potensi, kekuatan maksimum, solusi, tujuan hidup, dan lain sebagainya.
          Kata “coach” berasal dari tahun 1610an yang arti harfiahnya “membawa” atau “mengangkut” sesuatu atau seseorang di dalam sebuah coach (alat transpor), yang memiliki arti aplikatif, misalnya dalam memersiapkan seseorang untuk menghadapi ujian. Menurut Wikipedia, sebuah kamus online di internet, istilah “coaching” dipakai untuk pertama-kalinya di sekitar tahun 1830 yang menunjuk kepada seorang instruktur atau pelatih (trainer). Pada waktu itu, istilah tersebut merupakan ungkapan sehari hari yang sudah lazim digunakan untuk menggambarkan seorang guru atau tutor, yang “membawa” (menolong atau memberi les pelajaran kepada) seorang siswa, agar dia bisa menghadapi sebuah ujian. Penggunaan kata itu, yang berkaitan dengan olah-raga, pertama kali dipakai di tahun 1831. Kata coach dijadikan kata kerja di tahun 1849. Kamus Merriam-Webster online, mencantumkan kata kerja “coach” dengan arti: to train intensively (as by instruction and demonstration), yang diterjemahkan menjadi “melatih” secara intensif dengan pemberian instruksi dan demonstrasi.
          Kata coaching itu sendiri memiliki arti yang beragam, dan terus berevolusi sejalan dengan bergeraknya waktu, dan dari zaman ke zaman, sebab coaching dapat dihubungkan dengan segala jenis aktivitas, pekerjaan, bidang studi, bidang karier, dan bidang-bidang lainnya. Coaching, sebagai alat, berfungsi secara variatif menurut keperluan dengan metode yang beragam pula. Oleh sebab itu, pengertian dan konsep coaching seringkali tumpang-tindih dengan konsep-konsep seperti: mentoring, teaching, counseling, consulting, bahkan curing atau theraphy.
          Sejarah evolusi coaching cukup menarik. Ditelusuri oleh Joseph
O’Conner, Andrea Lages dan kawan-kawannya. Dalam buku mereka yang berjudul "How Coaching Works", penelusuran dimulai dengan cikal-bakal coaching. Sederhananya, coaching itu bagaikan sebuah penyebaran. Misalnya jika seseorang mendengarkan sebuah lagu atau musik, dia menyukainya dan menyanyikannya lalu memengaruhi orang lain lagi, sehingga orang itu juga senang dengan lagu yang didengarnya. Demikianlah lagu itu merambat ke mana-mana, dikuasai dan dinyanyikan. Lagu itu bisa secara langsung maupun tidak langsung diajarkan, namun jelas melalui sebuah proses transfer dari satu sumber ke objek tertentu. Objek tersebut kemudian menjadi sumber baru, yang disadari maupun tidak disadari, mentransfer apa yang dia terima ke sekeliling dirinya. Begitulah seterusnya terjadi. Pola itu kemudian disadari di dalam dunia olah-raga, misalnya di mana seorang pelatih (coach) sepakbola memindahkan ilmu sambil mengajarkan bagaimana caranya bermain sepakbola kepada anak-anak didik di sebuah sekolah sepakbola.
          Di Amerika Serikat pada tahun 1974an, ada seorang pelatih tenis terkenal bernama Timothy Gallway. Gallway adalah lulusan Harvard University bidang Literatur Inggris, namun juga menjadi seorang kapten tim tenis kampus. Di kemudian hari, dia menjadi seorang pelatih tenis bagi tim tenis dari Esalen Institute. Buku terkenalnya berjudul The Inner Game of Work, The Inner Game of Golf dan The Inner Game of Music, pernah diterbitkan dan terjual sangat laku. Pada intinya, dia berbicara tentang 2 tantangan yang dihadapi seorang pemain tenis. Yang pertama adalah musuh mainnya, yang kedua adalah dirinya sendiri. Musuh mainnya perlu dipelajari kelebihan dan kelemahannya, lalu menyusun strategi bertanding supaya dia dikalahkan atau ditaklukkan. Dirinya sendiri adalah faktor yang penting. Bila mental diri seorang pemain lemah dan gampang menyerah, dianggap hal itu bisa membawa kekalahan; hal sebaliknya akan terjadi, bila mentalnya positif dan tangguh. Singkatnya, kalah atau menangnya sang pemain tenis dalam sebuah kejuaraan, bergantung dari mental di dalam diri sendiri si pemain. Pemikiran Gallway memengaruhi publik Amerika Serikat sampai ke dunia pendidikan.
          Esalen Institute pada waktu itu merupakan pusat terpenting dalam bidang psikologi humanis dan studi antar disiplin ilmu. Di sini jugalah – sampai dengan sekarang – tempatnya bagi gerakan potensi manusia (human potential movement) yang dilahirkan pada tahun 1962 oleh Michael Murphy dan Dick Price. Guru-guru yang pernah mengajar di Esalen termasuk di antaranya: Aldous Huxley, Abraham Maslow, Carl Rogers dan B.F. Skinner. Guru-guru penting yang sangat berpengaruh dalam bidang neurolinguistic programming (NLP) seperti: Fritz Peris, Virginia Satir, dan Gregory Bateson juga mengajar di Esalen. Ada lagi orang-orang ternama seperti: Richard Feynman, Moshe Feldenkrais, Joseph Campbell, Carlos Casteneda, Firtjof Capra, Deepak Chopra dan Bob Dylan yang merupakan alumni institut ini. Di tahun 1971, Werner Erhard melahirkan EST training di Esalen. Est adalah kata Latin yang artinya “begitulah”. Modul training yang dikemas Erhard dikenal sebagai EST, kependekan dari Est Standard Training. Pelatihan yang berdurasi 60 jam ini dimaksudkan agar setiap peserta kelas dapat mencapai – dalam waktu singkat – kesadaran akan transformasi dan kemampuan/kekuatan diri. Selain ini, kursus pelatihan EST mengajarkan nilai suatu integritas dan soal tanggung-jawab yang harus dipikul oleh seseorang, dan tanggung-jawabnya terhadap orang lain. Kelas pelatihan ini berlangsung sampai dengan akhir 1984. Pada intinya, Erhard mengajarkan ide-ide dan pendekatan bagi pengembangan diri. Ide ini sangat penting pada masa itu dan terkenal dengan semboyan: “Create your future from your future, not your past.” Bukan sebuah kebetulan ternyata Timothy Gallway adalah murid tenis dari Erhard, sang pelatih tenis juga. Tapi Erhard tidak lebih penting sumbangsihnya dalam dunia coaching dibandingkan dengan Thomas Leonard.
          Leonard berargumen bahwa dirinyalah yang paling banyak berkontribusi dalam menemukan disiplin ilmu coaching. Dia pernah menjabat direktur pada sebuah instansi pemerintah Amerika Serikat, yang kemudian hari banyak berkecimpung dalam melakukan pelatihan-pelatihan motivasi. Leonard sangat berminat untuk melatih individu-individu ketimbang kelompok. Dia terbeban untuk melatih orang-orang satu-demi-satu, muka-dengan-muka, membantu mereka boleh menjadi manusia yang lebih baik. Dalam upaya menolong orang-orang, dia menggunakan berbagai pengetahuan psikologi. Dan dari eksperimen dia sebuah metodologi coaching mulai terbentuk. Di tahun 1988, Leonard mulai mengajar kursus dengan topik “Mendesain Kehidupan Anda” dan berhasil memulai sebuah lembaga yang bernama College for Life Planning – pusat belajar untuk perencanaan hidup di tahun 1989.
          Coaching terus berkembang di tahun 1990 – sebuah pengajaran yang dibangun atas dasar riset ilmiah namun dari pengalaman praktis tentang perencanaan kehidupan (life planning). Perkembangan coaching terutama terjadi di Amerika Serikat – melalui mulut-ke-mulut. Karena Leonard adalah seorang pemikir analisis dan ulung, ia pada akhirnya mengembangkan coaching sebagai sebuah disiplin ilmu yang didasarkan pada teori-teori 4 6 penemuan kreatifnya. Di tahun 1994 Leonard membentuk International Coach Federation (ICF). ICF di kemudian hari, berkembang menjadi sebuah lembaga asosiasi yang memayungi para coach profesional di seluruh dunia. Dari ICF, bermunculan lembaga-lembaga sejenis yang membantu mengembangkan coaching sebagai salah satu cara untuk menolong orang merencanakan hidup, memecahkan persoalan, dan belajar menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan pengembangan diri.
          Pelatihan-pelatihan keterampilan meng-coach juga sudah dibuatkan standarnya, walaupun belum ada standar baku yang dapat diakui secara universal. Di kalangan Kekristenan, misalnya, telah hadir Institute of Theology & Christian Therapy (ITCT) yang memiliki panduan standar etis bagaimana membuka dan menjalankan kelas-kelas pelatihan coaching. Bahkan sekarang ini ITCT telah mengeluarkan sebuah program pelatihan coaching yang bersertifikasi secara profesional bagi orang Kristen dan hamba Tuhan yang bergerak di bidang pastoral (penggembalaan).
          Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, secara historis perkembangan coaching telah memengaruhi ke berbagai bidang studi mulai dari bidang olah-raga, psikologi, manajemen, sosial (termasuk keagamaan, hubungan/relasi manusia) sampai ke dunia bisnis dan industri. Di bidang bisnis saja, coaching sudah diperkenalkan dan dipakai secara massal dan sangat diminati. 

Dari sumber di internet terdapat data statistik sebagai berikut:

  • Pengeluaran tahunan untuk business coaching di Amerika Serikat diperkirakan mencapai 1 juta dolar – Harvard Business Review, November 2004.
  • Pemakaian business coaching di Inggris (United Kingdom) sangat tersebar – dengan hampir 9 dari 10 responden melaporkan bahwa mereka sekarang sudah menggunakan coaching di dalam organisasi mereka (88%) – University of Bristol Newsletter, 2005.
  • Institute Manajemen Australia mengatakan 70% perusahaan-perusahaan anggotanya mempekerjakan para coach untuk melakukan business coaching – Inside Business Channel 2, July 2006.
  • Hasil dari sebuah studi terbaru memperkirakan adanya 40.000 orang di Amerika Serikat yang bekerja sebagai business coach atau life coach, dan pasaran business coaching senilai 2,4 juta dolar kini bertumbuh kira-kira 18% setiap tahunnya – Market Data Report tahun 2007.
  • Coaching adalah profesi yang pertumbuhannya di urutan ke-2 tercepat di dunia setelah teknologi informasi – National Post, April 2007.

          Dari sejarah dan perkembangan coaching yang begitu nyata dan pesat di planet bumi kita ini, beberapa hal menjadi jelas bagi kita, antara lain: pertama, coaching – apapun definisinya merupakan aktifitas dasar setiap komunitas manusia; ke dua, coaching menolong orang-orang lain belajar dan bertumbuh ke arah yang lebih bagus; ke tiga, coaching bisa dilakukan oleh hampir semua orang dengan beberapa perkecualian, misalnya: coaching tidak dapat dipraktikkan terhadap orang-orang yang sedang menderita cacat mental, atau orang-orang sedang di tempatkan di suatu lokasi di mana mereka tidak bisa berhubungan dengan orang lain di luar lokasi tersebut, dan lain sebagainya; ke empat, coaching semakin dirasakan manfaatnya dari hari ke hari tanpa henti; ke lima, coaching menyukakan baik dari sisi sang coach maupun dari sisi coachee; ke enam, khususnya dari sisi pemahaman iman Kristen, coaching tidak bertentangan dengan prinsip Firman Tuhan di wilayah seperti misalnya: visi, pengembangan potensi ilahi, pencapaian sasaran untuk kemuliaan-Nya, penyelesaian persoalan menurut cara Tuhan.
          Untuk memahami lebih mendalam tentang anatomi coaching, kita harus berangkat ke terminologi coaching, dan bagaimana coaching merupakan sebuah pendekatan yang unik dalam upaya pemberian bantuan atau bimbingan, baik untuk peningkatan dan pengembangan diri manusia secara individual (life coaching), maupun untuk hal-hal yang lebih luas lagi.

05 January, 2015

Helping People Help Themselves

          Seorang filsuf terkenal dari Tiongkok pernah berpendapat: “Give a man a fish, feed him for a day. Teach a man to fish, feed him for a lifetime”. Terjemahan bebas dari ungkapan itu adalah: “Berikan seseorang seekor ikan, maka Anda memberi dia makan untuk satu hari. Namun bila Anda mengajarkan dia bagaimana menangkap ikan, maka Anda memberi dia makan untuk seumur hidupnya”.
          Filosofi ini sangat berguna dan sudah terbukti kebenarannya, teraplikasi baik di dalam kehidupan pribadi seseorang, maupun di dalam kehidupan ekonomi bangsa-bangsa. Ekonomi yang sehat dan kuat sebuah negara seringkali dibangun ketika prinsip "helping people help themselves" diterapkan. Hal itu juga terjadi di dalam konteks-konteks lainnya selama manusia senantiasa sadar, bahwa dirinya perlu bertumbuh, berkembang, dan bergerak maju hingga ke sebuah titik yang tidak pernah dia ketahui ujungnya.
          Coaching, sebagai salah satu bentuk layanan di wilayah helping ministry, berorientasi pada helping people help themselves. Seseorang sebelum dia bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang coach, dia dilatih dan diyakinkan bahwa pada diri orang-orang yang dia coach (yang disebut coachee) terdapat semacam potensi, dan kapasitas berupa jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan pergumulan-pergumulan yang tengah dihadapinya. Carl Rogers, salah seorang pakar psikologi, pernah mengembangkan semacam terapi yang berpusat pada diri klien itu sendiri. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan Client-Centered Therapy (CCT). CCT tumbuh di era tahun 1940 dan 1950an. Terapi semacam ini menggunakan sebuah pendekatan yang sifatnya non-directive. Dengan pendekatan ini, seorang psikolog atau seorang konselor tidak akan mengontrol atau menyetir atau mengarahkan pikiran dan tingkah-laku klien untuk mencapai suatu solusi. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang-orang cenderung untuk bergerak ke arah pertumbuhan dan pemulihan atau kesembuhan, dan mereka memiliki kapasitas untuk menemukan jawaban-jawaban punyanya mereka sendiri. Di sini, seorang terapis menggunakan banyak pertanyaan untuk menggali, membangkitkan kesadaran klien, sampai akhirnya dia berhasil menemukan jawaban punyanya sendiri bagi dirinya sendiri. Terapis tidak memberi tahu (telling), nasihat, instruksi, dan pengajaran apapun bagi klien.
          Pendekatan ini dipakai dalam pelaksanaan coaching. Coaching bisa dipakai sebagai alat untuk merubah pola pikir (mindset), membangkitkan kesadaran (awareness), dan menumbuhkan kreativitas (creativity) klien untuk menemukan (discover) jawaban-jawaban punyanya sendiri, bukan berasal dari coach atau orang-orang lain. Selain itu, coaching juga sifatnya lebih memberdayakan (empowering) seseorang ketimbang mengontrol (controlling).
          Landsberg menjelaskan bahwa apabila seseorang diberitahu atau digurui, dia cenderung dikontrol. Sebaliknya apabila seseorang digali dengan pertanyaan-pertanyaan, maka dia akan lebih diberdayakan. Seorang coach berusaha secara konsisten untuk memasilitasi (facilitating) coachee agar dia berhasil menemukan jawaban-jawaban punyanya sendiri, ketimbang mengharapkan atau menerima “ikan” dari coach-nya. Di sisi yang lain, seorang coach seolah-olah sedang mengajari coachee “bagaimana menangkap ikan,” melalui proses penemuan konsep-konsep dan cara-cara yang asalnya dari coachee sendiri.
          Paulus Kurnia, seorang coach profesional dalam buku karangannya "Coaching yang Menumbuh-kembangkan" yang menjelaskan semua hal tentang coaching, juga menekankan bahwa "coaching merupakan salah satu cara untuk menumbuh-kembangkan seseorang di berbagai aspek kehidupannya."

28 December, 2014

Hambatan dan Hal-hal penting dalam Coaching

          Apa yang perlu di-coaching-kan? Kalau mengacu pada standar yang umum, yang perlu di-coaching-kan adalah hard skill dan soft skill (istilah lain: soft competency dan hard competency, job skill dan mental skill). Semua karyawan menginginkan skill-nya naik, tapi cara yang mereka inginkan ternyata (yang paling digemari) adalah face-to-face coaching di tempat kerja. 88% jawaban responden yang diteliti meyakini bahwa memiliki seorang coach di tempat kerja merupakan hal yang penting untuk kemajuan karirnya (Emerging Leader Research Survey Summary Report, 2003).

          Meski sedemikian rupa coaching itu pada hakekatnya dibutuhkan, tetapi prakteknya masih belum banyak yang melakukan. Beberapa hal yang kerap menghambat terlaksananya kegiatan yang mulia ini, misalnya:

1. Budaya menghakimi/memarahi
Kita langsung memarahi karyawan saat melakukan kesalahan. Marah terkadang tidak bisa dihindari tetapi yang kerap kita lupakan adalah apa yang kita lakukan setelah marah. Kalau yang kita lakukan membenci atau menjauhi, tentu akan berbeda efeknya dengan ketika yang kita lakukan setelah itu adalah mendekati dan meng-coach-nya.

2. Budaya membiarkan
Kita membiarkan karyawan bekerja sendiri-sendiri karena kita malas atau tidak peduli dengan skill mereka. Membiarkan seperti ini tentu berbeda dengan membiarkan yang punya pengertian memberi kesempatan untuk mandiri dalam menerapkan pengetahuan.

3. Budaya mengerjakan sendiri
Kita menangani sebagian besar pekerjaan dan enggan untuk mendelegasikannya kepada yang lain karena kurang percaya.

4. Budaya mengharapkan hasil yang instan
Kita mengharapkan hasil yang instan dari apa yang kita instruksikan pada mereka.

5. Budaya arogansi birokrasi
Kita menjaga jarak dengan karyawan untuk melindungi gengsi atau kita enggan turun ke bawah. Umumnya kita, semakin tinggi jabatan atau posisi, 
justru semakin jauh dari realitas yang bersentuhan langsung dengan manusia dan masalahnya di bawah.

          Kalau mengacu pada teori pendidikan, meng-coach karyawan itu sebenarnya juga termasuk mendidik. Bicara soal pendidikan ini mungkin ada satu hal yang perlu kita ingat bahwa metode yang kita gunakan dalam mendidik orang itu jauh lebih berperan penting ketimbang materi yang kita sampaikan. Materi yang bagus akan diresponi tidak bagus kalau metode yang kita gunakan tidak cocok dengan keadaan orang yang kita coach.
          Untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini mungkin sudah menjadi sebuah realitas tetapi belum ada namanya. Artinya, kegiatan ini sudah dipraktekkan tetapi tidak memakai nama coaching. Sebaliknya juga, mungkin untuk sebagian orang, kegiatan meng-coaching ini hanya sebuah nama tetapi tanpa realitas. Artinya, kita hanya tahu apa itu coaching, manfaatnya apa, tujuannya apa, tetapi tidak pernah kita praktekkan.

          Terlepas itu sudah menjadi realitas atau baru sebatas nama, tetapi sebetulnya ada beberapa hal yang penting untuk diingat, yaitu:

1. Memiliki data yang akurat
Data di sini mungkin tidak harus kita artikan sebagai data dalam pengertian yang formal dan rumit. Data di sini bisa juga kita artikan sebagai catatan pribadi yang berisikan tentang gap antara skill yang dimiliki karyawan dengan tuntutan pekerjaan. Bisa juga berisi masalah yang dihadapi si karyawan dalam kaitannya dengan kinerjanya. Bisa pula berisi tentang perkembangan si karyawan yang kita coaching itu dari waktu ke waktu. Dengan memiliki apa yang kita sebut data itu, berarti ketika kita hendak meng-coach orang, kita sudah tahu apa yang perlu dan apa yang belum perlu, mana yang perlu ditekankan dan mana yang belum perlu, dan seterusnya.

2. Menemukan metode yang "teachable"
Seperti yang saya katakan di muka, bahwa dalam meng-coaching ini memang kita dituntut untuk memerankan diri sebagai pendidik. Hal yang terpenting di sini adalah menggunakan atau menemukan metode mendidik yang dapat membuat orang yang kita didik itu bisa mendidik orang lain dan begitu seterusnya. Dengan begitu, tanpa harus kita yang turun langung, program coaching tetap berjalan di tempat kita. Ini tentu sangat positif. Selain meminterkan orang lain, ini juga bisa membentuk lingkungan yang positif.

3. Menghidupkan, bukan mematikan
Ini soal cara bagaimana meng-coach orang. Meski kita sudah sama-sama tahu bahwa cara yang bagus adalah menghidupkan semangat orang, tetapi dalam prakteknya belum tentu pengetahuan itu kita gunakan. Ada cara yang menghidupkan tetapi ada cara yang mematikan, ada cara yang mendorong tetapi ada cara yang malah menarik. Cara yang kita gunakan terkadang bisa bertentangan dengan niat yang kita maksudkan. Karena itu, meski niat kita baik, namun kalau cara yang kita gunakan itu mematikan, me-looking-down-kan, atau menghinakan, bisa jadi hasilnya bukan malah bagus.