20 January, 2015

Definisi Coaching

          Kata "Coaching", sebagaimana yang sudah diuraikan sebelumnya di Sejarah dan Perkembangan Coaching, memberi penekanan pada suatu pergerakan. Diumpamakan seperti seorang pengemudi kendaraan A di kota B, yang membawa seorang penumpang C. A melayani C, yang meminta diantarkan ke kota tujuan D. B dan D merupakan 2 tempat yang berbeda dengan jarak tertentu. Untuk sampai ke kota D dibutuhkan tindakan (action), dan terjadi perubahan (change) tempat. Gambaran ini dapat dikaitkan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Jika A adalah seorang coach dan C adalah coachee, maka A menolong dengan cara-cara tertentu, supaya C sampai ke sasaran yang dia ingini. Dalam konteks ini, coaching adalah salah satu alat untuk menolong C.
          Ketika zaman terus berubah di dalam rentang sejarah, pengertian coaching juga secara dinamis berubah. Banyak definisi yang sudah coba ditulis dari berbagai literatur yang membahas tentang coaching, di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Coaching adalah sebuah sarana (means) untuk mencapai tujuan, membantu (help) orang-orang menjalankan kehidupan yang utuh dan memuaskan.
  • Coaching dipahami sebagai sebuah kendaraan yang penuh tenaga (powerful vehicle) untuk menaikkan kinerja, mencapai hasil-hasil (results) dan mengoptimalkan (optimize) efektivitas pribadi seseorang.
  • Coaching terfokus demi kemajuan akan penemuan (discovery).
  • Coaching didefinisikan sebagai kemitraan (partnership) dengan klien-klien, dalam sebuah proses pembangkitan pemikiran dan kreativitas berpikir, yang mengilhami untuk memaksimalkan (maximize) potensi pribadi dan profesionalisme mereka.
  • Coaching adalah upaya membantu (help) seseorang berubah sejalan dengan yang dia rindukan, menolong (help) dia berjalan ke arah yang diingininya … .
  • Coaching adalah percakapan (conversation) yang disengaja, secara berkesinambungan, untuk memberdayakan (empower) seseorang atau kelompok, supaya mereka sepenuhnya menjalankan panggilan Allah (God’s calling).
  • Coaching adalah proses mendampingi (coming alongside) seseorang atau tim untuk menolong mereka menemukan (discover) agenda Allah (God’s agenda) bagi kehidupan dan pelayanan mereka, lalu bekerjasama dengan Roh Kudus untuk melihat agenda itu menjadi kenyataan.

          Dari beberapa definisi coaching di atas, Dr. Paulus Kurnia membangun definisi coaching sebagai: “sebuah metode untuk membantu orang-orang, agar mereka bisa menolong diri mereka sendiri dalam menemukan agenda dan potensi pemberian Tuhan, lalu mewujud-nyatakannya – melalui pendampingan, pemberdayaan dan kemitraan yang berkesinambungan”. Definisi ini merupakan integrasi antara definisi coaching pada umumnya dengan nilai-nilai spiritualitas kekristenan. Definisi ini menekankan beberapa hal utama, antara lain:

Metodologi
          Coaching merupakan salah satu metode untuk membantu seseorang (untuk selanjutnya disebut sebagai coachee), bukan sebuah tujuan akhir. Metode lain yang pada umumnya bisa dipakai untuk membantu orang, misalnya: konseling, konsultansi, mentoring, mengajar, melakukan pengobatan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, dan sebagainya. Dalam hal ini, coaching berfungsi secara unik di tengah-tengah pelayanan kategori helping ministry.

Penemuan Diri
          Pertolongan yang diberikan kepada orang-orang lain dalam coaching tidak berupa wujud jadi (misalnya: barang tertentu, atau pertimbangan, atau nasihat verbal atau solusi, dan lain sebagainya) tetapi berupa sebuah fasilitas yang memungkinkan coachee dapat menemukan sendiri jalan keluar atas segala hal yang menjadi permasalahan atau isu mereka. Dalam hal ini, coach bertindak sebagai fasilitator bukan advisor, apalagi sang pemberi “ikan.” Sebagai fasilitator, coach berupaya membantu agar coachee dapat menolong dirinya sendiri (s/he helps her/himself).

Percakapan
          Alat komunikasi efektif yang dipakai untuk melakukan coaching di sini adalah bercakap-cakap (conversation). Seorang coach yang baik, terlatih untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan (bukan pernyataan-pernyataan) yang bagus dan menyentuh inti persoalan, sehingga dia dapat menolong coachee menemukan jawaban dari dan bagi dirinya sendiri, bukan jawaban dari coach. Dalam percakapan yang kaya akan tanya-jawab ini, seorang coach dapat menghindari diri dari ungkapan-ungkapan atau pernyataan-pernyataan yang bernuansa seperti: menghakimi (judging), menggurui (telling), memarahi (yelling), mengasumsi (assuming), memanipulasi pemikiran (manipulating), dan memberi nasihat (advising) atau solusi praktis. Keunikan percakapan coaching adalah ketika seorang coach dapat menolong coachee tiba pada penemuan yang tergali dari dirinya sendiri (self-discovery), misalnya tentang: apa sesungguhnya yang dia ingini, cita-citakan, kesadaran akan kelebihan dan kekurangan dirinya, kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan atau kesempatan-kesempatan. Dalam percakapan coaching yang utuh, beberapa aktivitas komunikasi yang biasa digunakan coach antara lain: mengajukan pertanyaan, mendengarkan, memberi semangat, mendorong, menarik kesimpulan, dan pada akhirnya menagih tindakan-tindakan nyata apa yang harus diambil dan dijalankan coachee.

Pendampingan
          Dalam proses coaching, seorang coach berada di samping (alongside) coachee yang sedang diberdayakan olehnya – melalui percakapan, diskusi, dan interaksi yang dinamis dan menyenangkan. Coaching sering digambarkan seperti seorang guru les yang memberikan pelajaran tambahan kepada murid lesnya. Biasanya si guru akan duduk di samping muridnya. Di dunia olahraga, sang coach mendampingi orang-orang yang dilatihnya dalam memberdayakan mereka. Demikianlah halnya secara umum, coaching melibatkan bukan cuma percakapan-percakapan, namun kehadiran seorang coach mendampingi coachee menjadi penting, agar layanan coaching mengenai sasaran. Namun tetap perlu diingat di sini bahwa peran si coach bukan sebagai pemberi nasihat dan solusi, tetapi sebagai pendukung (supporter), pemberi semangat (encourager), dan fasilitator yang memimpin coachee dari belakang (leading from behind, atau non-directive leadership).

Pemberdayaan
          Sekali lagi, di dalam coaching, seorang coach tidak memberi nasihat dan solusi kepada coachee, namun memberdayakan coachee agar dia lebih dimampukan untuk menggunakan rasio atau nalar dan pikiran untuk membuat sebuah refleksi (reflection), diajak berpikir secara utuh dari segala jurusan (3600) dalam melihat persoalan, mengalami kesadaran-kesadaran baru (new awareness) dan diajak untuk berpikir out of the box atau kreatif, untuk menemukan solusi-solusi dari dirinya sendiri (self discovery). Untuk memberdayakan coachee, coach menggunakan banyak pertanyaan dan peralatan (tools) yang berbobot, kreatif, dan menantang – bukan dalam bentuk nasihat-nasihat, pengajaran-pengajaran, dan solusi-solusi praktis.

Kemitraan
         Berbeda dengan mentoring, teaching, dan sebagian consulting, seorang coach tidak harus lebih senior, lebih pandai, lebih handal, lebih ahli, dan lebih berpengalaman dalam menolong coachee. Dalam coaching, seorang coach dan coacheenya berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, berdampingan dan berhubungan seperti dua orang sahabat dekat: saling percaya, terbuka, jujur, apa adanya, tidak menghakimi, tidak menyalahkan, tidak menegur, tidak mengonfrontir, mau belajar, mau bertumbuh, dan mau mencapai sesuatu secara maksimal dan memuaskan, demi kemajuan dan perkembangan yang diidam-idamkan atau diharap-harapkan coachee. Dalam kemitraan ini, coach berada pada posisi sahabat bagi coachee, demikian pula sebaliknya.

Berkesinambungan
          Coaching, di sisi yang lain, merupakan sebuah relasi antara seorang coach dengan coachee-nya. Hal ini sejalan dengan bentuk bantuan yang diberikan secara konsisten kepada coachee: pendampingan, pemberdayaan, dan kemitraan. Relasi coach-coachee berlangsung dalam kurun waktu yang relatif panjang, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Misalnya: seorang coachee datang menemui seorang coach dengan persoalan sebagai berikut: “bagaimana agar saya bisa lebih pandai dalam berkomunikasi.” Begitu sasaran sudah ditetapkan dan kondisi permasalahan selesai dibingkai (di-frame), maka baik coach maupun coachee boleh mendiskusikan berapa lama atau berapa sesi percakapan coaching yang dibutuhkan: 3 sesi (dengan asumsi 60 menit dalam satu minggu per sesinya), atau 4, atau mungkin 8 sesi. Jika banyaknya sesi sudah ditetapkan, maka proses coaching baru dijalankan secara berkesinambungan. Kadang-kadang, relasi coach dan coachee bisa terus berkesinambungan tanpa batas waktu tertentu, namun bukan tanpa akhir.

Agenda Tuhan
          Agenda atau rencana atau panggilan Tuhan bagi seseorang, utamanya bisa digali dari pemahaman seseorang akan prinsip-prinsip Firman Allah atau Kitab Suci. Agenda ilahi itu meliputi segala hal yang berkenaan dengan aktivitas kehidupan, dengan segala permasalahannya dan tujuan hidup manusia. Agenda tersebut seringkali kurang dipahami, apalagi disadari oleh seorang Kristen. Dan agenda ilahi tersebut, seringkali sulit diterjemahkan ke hal-hal yang konkrit sehari-hari untuk diwujudnyatakan (put into action). Dalam hal inilah seorang coach dilatih untuk menolong coachee menemukan, menjalani, dan melakukan tindakan nyata agenda Tuhan di dalam kehidupannya sehari-hari.

Potensi Pemberian Tuhan
          Setiap orang sebagai ciptaan Tuhan dilahirkan ke dalam dunia ini lengkap dengan kemampuan-kemampuan uniknya, seperti: bakat atau talenta, keahlian-keahlian, dan potensi-potensi lainnya. Bagi orang Kristen, Alkitab menuliskan bahwa kepada setiap orang percaya diberikan karunia rohani. Semua bentuk potensi yang berasal dari Tuhan ini bukan tanpa tujuan. Dalam coaching, seorang coach akan menolong coachee agar dia memakai segenap potensinya untuk tujuan-tujuan yang Tuhan kehendaki di dalam hidupnya. Bagi John Whitmore, salah seorang penggagas dan coach terkemuka, coaching berguna agar “coachee boleh memaksimalkan pertumbuhan dirinya.”

Aksi
          Coaching sangat menekankan suatu tindakan atau action yang pada akhirnya perlu diambil oleh coachee. Coaching bukanlah coaching bila tidak diakhiri dengan tindakan. Dalam proses coaching, seorang coachee diminta untuk mengambil dan melakukan tindakan konkrit, untuk mewujud-nyatakan atau merealisasikan sasaran-sasaran atau keinginan-keinginannya, sebagaimana yang dia sudah nyatakan kepada coach di awal percakapan coaching. Aksi yang diambil dan dijalankan merupakan sebuah pertanggung-jawaban coachee atas sasaran-sasaran yang pernah dibuat sendiri. Coach tidak bertanggung-jawab atas aksi atau tindakan yang diambil dan dilakukan coachee.

          Untuk menyimpulkan arti dan proses coaching, saya mengutip O’Connor dan Lages yang menyuguhkan secara sederhana namun mantap tentang pola coaching. Mereka menemukan 4 kata kunci yang biasanya membentuk pemikiran dan definisi coaching pada umumnya, antara lain:

  1. Perubahan (change). Dalam semua percakapan coaching, coaching harus sampai kepada sebuah tindakan (action) yang sanggup mengubah kondisi mula-mula ke kondisi yang lebih baik, sesuai dengan sasaran yang diinginkan coachee. Biasanya ukuran keberhasilan sebuah percakapan coaching adalah pada dampak (impact) yang dihasilkan setelah coachee melakukan tindakan nyata, untuk memecahkan persoalan yang dia bawa kepada coach.
  2. Kepedulian (concern). Seorang coach yang terlatih akan menanyakan apa yang menjadi kepedulian coachee. Kepedulian coachee biasanya menyangkut isu-isu yang mau dibicarakan, harapan atau sasaran apa yang mau dicapai. Coach terlebih dahulu harus yakin bahwa coachee mendatanginya karena ada persoalan. Coachee adalah orang yang membutuhkan coach, bukan coach membutuhkan coachee, walaupun dalam proses coaching kedua-duanya harus saling berinteraksi.
  3. Pembelajaran (learning). Proses ini yang paling penting dalam sebuah percakapan coaching. Selain tujuan akhir tercapai, coachee perlu memiliki pengalaman belajar ketika dia sedang menghadapi persoalan. Pengalaman belajar yang paling penting di antaranya ialah: belajar merefleksikan pemikiran-pemikiran dia sendiri, belajar menemukan sendiri jawaban-jawaban yang muncul dari hasil analisa dan refleksi pribadinya, dan belajar merayakan penemuan-penemuan kecil yang dia hasilkan untuk pengembangan diri di masa yang akan datang.
  4. Hubungan (relationship). Dalam coaching, selalu melibatkan dua orang yakni coach dan coachee. Coaching tidak akan pernah terjadi bila salah satu dari dua orang ini tidak hadir. Oleh sebab itu, kedua orang ini harus menjalin sebuah hubungan yang baik, menyenangkan, saling mempercayai, saling menjaga rahasia percakapan, dan tetap saling menghormati. Semakin baik relasi kedua orang ini, semakin baik pula suasana dan hasil sebuah percakapan coaching.

          Menyermati dinamika coaching sebagaimana yang diuraikan di atas, maka beberapa hal yang penting untuk diperhatikan, antara lain:
Coaching bisa merupakan alat atau kepanjangan tangan dari gerakan potensi manusia (human potential movement). Gerakan ini menekankan keyakinan pada kesanggupan dan potensi manusia yang dapat dikembangkan dan dimaksimalkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Namun perlu diwaspadai manakala seorang coach berasumsi bahwa seorang manusia memiliki kesanggupan untuk menemukan dan mengembangkan sesuatu dari dirinya sendiri seolah-olah manusia tidak memerlukan kuasa dan kesanggupan lain di luar dirinya (misalnya Tuhan, Roh Kudus) yang justru jauh lebih hebat dan jauh lebih dapat diandalkan guna pemecahan persoalan-persoalan (problem solving). Lebih bersandar pada kekuatan manusia daripada kekuatan Tuhan condong bersifat humanistik.
Coaching akan efektif bila dipakai untuk orang-orang yang berada pada satu titik di mana mereka sudah cukup dewasa untuk berpikir dan berefleksi, ingin bertumbuh, ingin berjalan maju ke depan dan tidak ingin menengok lagi ke belakang, ingin memaksimalkan potensi pemberian Tuhan di dalam dirinya bagi kepentingan orang lain. Perlu batasan (boundary) yang jelas agar coaching bisa mencapai efektivitas yang maksimal.

Joseph O’Connor dan Andrea Lages menulis:
          “Coaching secara normal tidak digunakan bagi anak-anak kecil… . Coaching beranggapan bahwa klien seharusnya sudah dapat merefleksikan pemikiran mereka sendiri dan sudah bisa menjalankan tanggung-jawab sosialnya. Anak-anak kecil belum dapat melakukan hal ini karena mereka belum sepenuhnya berkembang secara kognitif. Coaching juga tidak cocok untuk klien yang menderita masalah mental dan fisik. Klien perlu berfungsi dalam hidupnya, bisa bekerja (mencari nafkah) sebelum mereka berkonsultasi dengan seorang coach… . Seorang coach semestinya tidak pernah menangani klien-klien yang tengah mengalami masalah emosi dan psikologis. Orang-orang ini membutuhkan seorang terapis, bukan seorang coach.”

          Orang-orang yang membutuhkan coaching hendaknya tidak mencari seorang konselor, karena konseling lebih berorientasi ke masa lalu, pengalaman traumatis, gangguan emosi para klien. Mereka lebih membutuhkan penyembuhan atau pemulihan bagi jiwa mereka. Gary R. Collins mengategorikan coaching ke dalam psikologi positif (positive psycohology), bukan healing psychology. Seorang coach tidak mesti terlatih untuk menangani urusan-urusan kejiwaan seseorang. Seorang coach bukan seorang ahli di dalam bidang tertentu (termasuk bidang psikologi dan konseling). Dia terlatih untuk menjadi seorang fasilitator bagi para kliennya, sehingga mereka dibantu untuk menemukan (discover) ide-ide dan jawaban-jawaban yang keluar dari dirinya sendiri, bukan dari coach. Keith Webb mengingatkan:
“Pandangan-pandangan (insights), ide-ide, strategi-strategi, dan butir-butir tindakan yang dibangkitkan sendiri oleh klien adalah yang paling relevan dan berguna bagi klien yang segera merasa bahwa itu semua adalah miliknya sendiri.”

No comments:

Post a Comment