Coaching adalah pembinaan. Secara teoritis, coaching adalah
proses pengarahan yang dilakukan atasan / senior untuk melatih dan
memberikanorientasi kepada bawahanya tentang realitas di tempat kerja dan
membantu mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi kerja yang optimal.
Kegiatan ini akan sangat tepat diberikan kepada orang baru, orang yang
menghadapi pekerjaan baru, orang yang sedang menghadapi masalah prestasi kerja
atau orang yang menginginkan pembinaan kerja. Tujuannya adalah untuk memperkuat
dan menambah kinerja yang telah berhasil atau memperbaiki kinerja yang
bermasalah.
Kalau diuraikan dalam kata-kata, manfaat coaching ini antara
lain:
1.
Meningkatkan TC ke DC
Istilah ini muncul dari
literatur kompetensi. Di sana dikatakan bahwa TC (thereshold competency) adalah
kompetensi dasar yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya tetapi
kompetensi ini belum bisa dibilang sebagai keunggulan. Jika seorang sekretaris
baru bisa menyalin surat ke komputer, jika seorang operator hanya bisa
mengangkat telepon, jika seorang sales baru bisa mengetahui produk dan menelpon
orang atau mengirim faksimile penjualan, ini semua adalah TC. Memang itu tugas
dasarnya.
Sedangkan DC (Differentiating Competencies) adalah
karakteristik yang dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja tinggi (high
performer) dan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang berkinerja rendah
(low) atau kurang (poor). Kita bisa ambil contoh misalnya seorang sales yang
sudah menguasai keahlian-keahlian yang dibutuhkan untuk memelihara pelanggan
yang menghasilkan hubungan kausalitas dengan penjualan. Sales seperti ini bisa
dikatakan orang yang berkinerja tinggi dengan kompetensi yang dimiliki.
Persoalan yang kita hadapi adalah, bagaimana
meningkatkan TC seseorang menjadi DC? Disinilah coaching berperan. Kalau kita
hanya menyerahkan (memasrahkan) urusan ini kepada masing-masing individu,
bisa-bisa saja. Cuma saja di sini kerap menimbulkan masalah, sebab tidak semua
individu sadar, tidak semua individu tahu, dan tidak semua individu menempuh
cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan keahliannya dari TC ke DC.
Konon, 98 % dari usaha untuk membangun kompetensi terjadi melalui pekerjaan
yang dilakukan
2.
Jalan menemukan 3R
Meski semboyannya SDM itu aset,
tetapi prakteknya tidak seluruhnya begitu. Banyak SDM yang belum menjadi aset.
Kata orang-orang SDM: "Hanya SDM yang bagus yang menjadi aset usaha".
Bagus ini apa penjelasannya?
Penjelasan yang umum bisa kita singkat dengan 3 R:
right people, right job and right performance.
Persoalan
yang kita hadapi adalah bagaimana menemukan 3R ini? Tentu kita sadar bahwa 3R
ini bukan sebuah hasil yang final (one-off). Amat sangat jarang kita bisa
langsung menemukan orang yang tepat untuk ditempatkan di pekerjaan yang tepat
agar bisa mencapai performansi yang tepat (tinggi). Yang sering terjadi, 3R ini
ini dicapai melalui proses. Jangankan karwayan, presiden atau menteri atau
pejabat negara yang sudah diseleksi sedemikian rupa pun tidak bisa langsung
mencapai 3R ini. Bahkan waktu seratus hari pun dikatakan belum valid untuk
menilai kinerja presiden dan menterinya.
Karena itu, coaching bisa menjadi salah satu jalan untuk
menemukan 3R. Kalau pun 3R ini belum bisa diwujudkan ke tingkat yang ideal,
tapi setidak-tidaknya coaching yang kita lakukan akan memperluas wilayah
"interkoneksi" antara 'workforce requirement' dan 'workforce
capabilities'. Kalau pekerjaan yang ada menuntut orang yang punya skill
berskala 7, sementara skill orang-orang yang ada hanya sampai pada skala 5, ini
tentu wilayah interkoneksinya belum nyambung. Supaya nyambung, harus dinaikkan.
3.
Jalan menemukan pemimpin dari dalam
Dulu, praktek bajak-membajak
tenaga ahli pernah menjadi isu besar di beberapa media massa. Sekarang pun
praktek semacam ini masih kerap dilakukan meski sudah jarang dijadikan berita.
Adakah sesuatu yang salah dengan praktek bajak-membajak ini? Secara konsep
memang tidak. Cuma dalam prakteknya, tidak semua orang yang kita bajak itu
menjadi "berkah". Ada yang malah menjadi beban. Artinya, meski konsep
ini bisa jadi benar di teorinya tetapi untuk mempraktekkannya butuh konteks
yang tepat dan alasan yang spesifik.
Kalau melihat hasil studi yang dilakukan Jim
Collin, rupanya praktek bajak-membajak ini kurang digemari oleh para pemimpin
usaha yang sudah sanggup menggerakkan usahanya dari good ke great. Mereka
rupanya punya tradisi untuk mengembangkan seorang pemimpin (senior atau tenaga
ahli) dari dalam. Dipikir-pikir, ini memang rasional. Orang dalam yang kita
kembangkan, akan memiliki pengetahuan tentang keadaan secara lebih mendalam
ketimbang tenaga baru yang kita bajak.
Nah, kalau melihat ke sini, coaching
bisa kita jadikan instrumen atau jalan untuk melahirkan seorang pemimpin dari
dalam. Dilihat dari efektivitas dan efisiensinya, cara ini mungkin lebih
menjamin ketimbang membajak tenaga baru yang masih "abu-abu". Kalau
pun orang yang kita coaching itu tidak menjadi pemimpin di tempat kita, tetapi
setidak-tidaknya kerjanya sudah lebih bagus.
No comments:
Post a Comment